Rabu, 31 Maret 2010

Wayang Listrik Dari BALI




Bali, pulau yang kaya dengan seni, ternyata memiliki seniman-seniman berbakat yang mendedikasikan dirinya untuk kesenian. Termasuk di antaranya adalah seorang pedalang muda, Made Sidia, yang sejak belajar sekolah seni di Denpasar telah bereksperimen dengan berbagai metode untuk memberikan presentasi visual yang lebih menarik dalam pertunjukkan wayang kulit.

Pertunjukan terbarunya adalah apa yang ia namakan dengan wayang listrik dan baru saja digelar pada saat pembukaan Art Summit Indonesia V di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 26 Oktober lalu. Ia berhasil menampilkan tontonan wayang klasik dengan sentuhan modern. Wayang listrik adalah hasil dari eksperimen dengan menggunakan elemen-elemen pertunjukkan modern untuk membuat pertunjukan wayang tidak hanya menarik secara visual tapi juga menyajikan cerita yang indah dengan tetap menjaga integritas dan kejernihan cerita dan pesan-pesan yang ingin disampaikannya.

Teater Wayang Listrik ini digarap Made Sidia dengan menggunakan tiga layar dalam ukuran berbeda. la juga menggunakan proyektor untuk menampilkan rekaman video dan gambar-gambar digital sebagai latar belakang dihampir sebagian besar adegan dalam pementasannya, juga permainan cahaya dan instrumen musik modern. Dengan brilian ia menggabungkan musik gamelan dan instrumen modern, seperti drum dan gitar, serta gerakan tari yang merekatkan pertunjukan ini menjadi satu keutuhan.

Untuk menaklukkan ruang yang lebar, Made Sidia mengerahkan beberapa orang dalang yang memainkan wayang secara bergantian. Dengan bantuan papan luncur (skateboard), setiap dalang dapat dengan mudah berganti-ganti posisi sesuai dengan peran yang tengah dimainkannya. Pemakaian papan luncur ini telah menjadikan mereka dijuluki Wayang Skateboard oleh komunitas orang asing di Bali. Dalam keseluruhan pertunjukan, Sidia tetap menjadi narator di samping ikut memainkan wayang bersama dalang lainnya.

Made Sidia bukan nama baru dalam dunia perwayangan. Bahkan, metodenya yang kontemporer telah membawa pertunjukan wayang Bali ini memasuki era baru dan karyanya telah dipertunjukkan di berbagai pentas di dalam dan luar negeri. Jika pertunjukan wayang tradisi memakai blencong, atau lampu kuno yang dinyalakan dengan minyak kelapa untuk memproyeksikan wayang ke layar, maka karya kontemporer menggunakan proyektor yang dioperasikan oleh komputer.

Pemakaian komputer memberikan gambar dan visual effect yang lebih jelas sebagai latar dalam pertunjukkan, menampilkan gambar-­gambar yang berbeda, dari hutan, gunung, candi dan laut - baik berwarna maupun hitam putih, membuat pertunjukan wayang kulit kontemporer lebih menyerupai pertunjukan film.

Kali ini, Sidia bercerita tentang Perjalanan Tualen. yang mengekspresikan kegelisahannya menghadapi situasi zaman yang melintas di depan matanya. la begitu masygul melihat betapa tabiat manusia di masa kini ternyata belum jauh beranjak dari primata!

Terinspirasi dari cerita epik Ramayana, cerita ini dimulai ketika Rama Dewa, putra mahkota kerajaan Ayodya, rela menanggalkan semua kemewahan hidup dan mengasingkan diri di dalam hutan untuk menghindari pertumpahan darah dan perpecahan keluarga. Bersama istrinya, Dewi Sita, adiknya Lesmana dan pembantu setianya, Rama memulai pengasingannya, yang awalnya berupa cobaan hidup tapi kemudian membawanya lebih jauh lagi.

Ketika Sita diculik oleh raja Alengka, Rahwana, pertunjukan memasuki babak dimana ia tidak hanya bercerita tentang kisah cinta klasik tapi memberi makna filosofi yang lebih dalam, saat Rama menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan istrinya tapi juga cinta dan kehormatannya.

Dalam situasi demikian, Tualen, seorang abdi yang telah menyerahkan diri dan hidupnya pada Rama tentulah turut merasakan apa yang dirasakan tuannya. Dalam perjalanan panjang menunaikan tugasnya itulah di dalam diri Tualen sendiri bergejolak gairah pencarian yang dahsyat. Pencarian Sita juga! Sita dalam bentuk cinta dan kehormatan yang hilang dirampas oleh ketamakan, kepongahan dan kedunguan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar